Bismillah,
Iqbal Hamdani 15 Juli 2019
Apa itu Tasawuf??
Ilmu tasawuf secara amaliyah (ahlak / perilaku) sudah dipraktekan sejak jaman Nabi Muhammad SAW namun secara keilmuwan baru ada setelah era khulafaturrasidin (Abu bakar, Umar, Usman & Ali).
Tasawuf berasal dari akar kata benda : “Shuff” yang berarti (pakaian) bulu domba. Kata kerjanya : “Tashawwafa” memakai bulu domba (sebagai pakaian), dan subjek/orang yang memakai bulu domba sebagai pakaian disebut “shufi”.
Bulu domba pada masa lalu adalah lawan dari sutera. Jika sutera adalah bahan pakaian yang mahal, maka bulu domba adalah pakaian orang faqir. Maksud dari memakai bulu domba sebagai pakaian adalah, bahwa orang-orang yang menempuh jalah tasawuf (shufi), tidak mementingkan penampilan diri di hadapan manusia, melainkan menomor satukan penampilan diri di hadapan Allah S.W.T.
Namun ilmu tasawuf yang mendalami terkait ilmu ma'rifat (pengenalan haqikat Allah) kini banyak yang sudah bergeser dari konsep awal oleh tokoh - tokoh tasawuf seperti Rabiatul Adawiyah, Imam Al Ghazali, dan ulama - ulama tasawuf lainnya.
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan, pengalaman, atau pengetahuan Ilah. Sedangkan secara bahasa ma’rifat berarti pengetahuan rahasia hakekat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifat dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang diperoleh dari sanubari.
Dalam istilah sufi, ma’rifat dapat diartikan cahaya yang disorot pada hati siapa saja yang dikehendaki-Nya. Inilah pengetahuan hakiki yang datang melalui kasyf (menyingkap), musyahadah (penyaksian), dan dauq (cita rasa). Pengetahuan ini berasal dari Allah.
Al-Ghazali menerangkan, bahwa ma’rifat menurut pengrtian bahasa adalah ilmu pengetahuan yang tidak bercampur dengan keraguan. Inti tasawuf Ghazali adalah jalan munuju Allah. Sarana ma’rifat seorang sufi adalah qalbu, bukan perasaan dan tidak pula akal budi. Konsepsi ini,qalbu bukan diartikan sebagai wujud yang sebenarnya akna tetapi qalbu adalah bagaikan cermin, sememtara ilmu adalah pantulan gambaran realitas yang termuat didalamnya.
Lebih terperinci, Al Ghazali mengemukakan pengertian lebih jelas, yaitu Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupan seluruh yang ada. Seorang yang telah sampai pada ma’rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajahnya. Ma’rifat datang sebelum mahabah.
Namun banyak orang awam belajar ma'rifat akhirnya malah meninggalkan syaria'at Agama yang sudah di contohkan sendiri oleh kekasih Allah Muhammad SAW.
Mereka Lupa bahwa Sumber Ilmu adalah Muhammad SAW, Bahkan terciptanya Alam Semesta karena kemuliaan Muhammad SAW, Mereka juga telah lupa bahwa dia tau siapa itu “ALLAH” dari lisan Muhammad, Dia jadi tahu bahwa sifat Allah itu Maha Melihat Maha Mendengar juga dari Muhammad SAW, jadi sesungguhnya semua Sumber Ilmu Ma’rifat, guru dari para guru tak lain tak bukan adalah Nabi Besar Muhammad SAW.
Pengetahuan itu telah Nabi sampaikan kepada Sahabat, dari sahabat disampaikan kepada Tabi’in, dari Tabi’in disampaikan kepada Tabi’in – Tabi’in sampailah kepada Kita.
Bahkan Muhammad SAW yang pernah mehadap Allah dan diperlihatkan Syurga Neraka saja masih melakukan Syariaat agama, kok kita yang makomnya saja jauh dibawah imam Al Ghozali (imamnya ilmu ma’rifat) sudah ingin meninggalkan syariat.
Padahal Nabu Muhammad lah Panutan kita karena kata ALLAH “Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. (An-Nisaa/4 : 80).
Lalu Bagaimana mentaati Rasul itu??
Yaitu dengan meniru apa yang dilakukannya.
Orang awam yang belajar Ma’rifat biasanya mengatakan
“Ilmu itu tidak perlu berguru, karena yang tau baik dan buruk itu adalah qolbu, karena tidak ada jaminan guru itu akan selamat di akherat”
"Guruku adalah diriku sendiri, karena aku tau mana yang baik, dan mana yang buruk"
Betulkah demikian??? Apakah kita bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk tanpa petunjuk Allah SWT??
Apa itu definisi dari baik, jika di maknai secara bebas baik adalah yg berhubungan dengan luhur, bermartabat, menyenangkan, disukai manusia, terpusat pada hal - hal yang membahagiakan. Sedangkan definisi buruk adalah kebalikan dari itu semua, sesuatu yang membuat derita manusia.
Jadi baik dan buruk itu relatif, seperti rasa enak dan gak enak, penilaian baik dan buruk itu tergantung kemampuan akal, zaman, situasi, lingkungan dan berbagai hal.
Contoh, menculik seorang pengantin perempuan itu baik atau buruk???
Di Negara Afrika dan Checnya ada beberapa suku yang memiliki adat menculik pengantin wanita, bahkan sebagian ada yang diperkosa. Jika berhasil itu sebuah kebanggan bagi laki laki.. Itu di anggap perbuatan baik..
Mengubur bayi perempuan hidup hidup, baik atau buruk?? Kaum jahiliyah di mekkah zaman dulu me anggap ini perbuatan baik.
Makan dengan me naikan lutut sebelah, di sebagian suku di indonesia ini hal yang baik - baik saja, tetapi di jawa tengah ini menjadi buruk.
Berkentut (buang angin) setelah makan, di cina di anggap sesuatu yang baik karena ini membuang penyakit tetapi di indonesia ini dianggap hal buruk..
Jadi jelas bahwa baik dan buruk jika dinilai dengan akal, maka akan menjadi relatif tergantung waktu, kondisi, zaman, dsb. Sehingga untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk kita harus mengetahui berdasarkan petunjuk (kalau tentang keduniaan mungkin bisa kita sebut buku panduan) tentang baik dan buruk,, Kalau di agaman apa itu buku panduannya atau petunjuknya.. yaitu Alquran dan Hadist.. Dari situlah kita menjadi tahu mana yang disebut Baik dan mana yang disebut Buruk.
Dan Darimana kita bisa mengerti Alquran dan Hadist sedangkan jarak kita dengan Nabi Muhammad 1400 Tahun, dari guru yang bersambung (sanad) sampai kepada nabi Muhammad SAW.
Dari Alquran & Alhadist itulah kita jadi mengetahui, kalau membunuh itu perbuatan buruk, menculik wanita dan memperkosa wanita itu perbuatan buruk, makan sambil mengangkat lutut itu tidak apa apa, dll.
Lalu perlukah kita berguru, Adakah jaminan kalau guru sendiri adalah orang yang selamat.
Tidak ada yg bisa menjamin keselamatan siapapun, karena Nabi Muhammad pun tidak dapat menjamin. Syurga, Neraka. Selamat, tidak Selamat itu Rahmat Allah hak Prerogratif Allah, Cuma melaui ketaatan itu usaha kita agar turunnya Rahmat.
"Tidak seorang pun di antara kalian yang akan diselamatkan oleh amal perbuatannya. Seorang lelaki bertanya: Engkau pun tidak, wahai Rasulullah? Rasulullah saw. menjawab: Aku juga tidak, hanya saja Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku akan tetapi tetaplah kalian berusaha berbuat dan berkata yang benar" (Hadits Shohih Bukhori Jilid 8, nomor 470)
Lalu Perlukah kita berguru???
Perlu, karena fungsi berguru adalah untuk memastikan, bahwa ilmu yg kita terima, sama persis dengan apa yang Nabi ajarkan,, ucapan lisan guru sama dengan ucapan lisan nabi muhammad.. kalau istilahnya dalam agama yaitu "sanad"
Tidak usah terlalu jauh membahas ilmu ma’rifat, kita bahas kalimat “Taat Kepada Allah”
Tidak perlu kita bahas “Allah” kita bahas kata “TAAT”, darimana kita bisa tahu kata “TAAT”, Taat itu bukan bahasa Indonesia, atau bahasa suku orang Indonesia, “TAAT” itu bahasa arab yang artinya tunduk, patuh, ngawulo, penghambaan, darimana kita tahu orang menyebut “TAAT” padahal jaraknya 7 jam dari Indonesia, dan jaman dulu belum ada Telpon, belum ada Facebook. Orang tua kita sudah Tau kata “TAAT”. Karena orang jaman dulu belajar kata "Taat" dari gurunya, dan dari gurunya guru yang yang pernah belajar ke Negri Arab, Orang arab dari Gurunya dan gurunya, sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Dari Kata Taat saja kita sudah bersanad, apa lagi belajar Ilmu yang lebih jauh.
Wallahua'lam