Friday, July 5, 2019

Wanita Masuk Masjid Membawa Anjing

Saat ini sedang Viral video pendek berisi seorang wanita yang marah - marah didalam Masjid mencari suaminya dengan membawa Anjing.

Lalu Bagaimana Hukum Kenajisan Anjing.

Pendapat Pertama

Secara garis besar, ada dua mazhab mengenai status anjing: apakah kotor/najis atau tidak. Mazhab pertama adalah mazhab-anjing-najis. Inilah pandangan yang diikuti oleh mazhab Syafii dan Hanbali. Mazhab Syafii, kita tahu, banyak dianut di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Inilah yang antara lain, menjelaskan kenapa ada semacam fobia anjing (canine phobia) di masyarakat Muslim Indonesia. Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat seluruh tubuh anjing adalah najis, baik bulu, keringat, ataupun air liurnya. Sehingga kalau ada anjing menjilat sebuah benda atau kulit kita, maka wajib dibasuh sebanyak tujuh kali dan salah satu basuhan wajib pakai tanah. ini sesuai dalil hadis nabi yang diriwayatkan imam muslim dalam sahih muslim yang berbunyi.

"Dari Abu Hurairoh –radiyallahu ‘anhu- berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda “Sucinya wadah salah seorang di antara kalian apabila anjing menjilat di dalamnya adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama kalinya dengan debu" [Shahih riwayat Muslim]

Dalam riwayat lain, “maka hendaknya ia menumpahkannya (terlebih dahulu)”, oleh At Tirmidzi "terakhirnya, atau yang pertamanya dengan debu”
Dalam kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam hafizhohullah dijelaskan Faedah Hadits diatas adalah :
  1. Anjing itu najis, demikian juga anggota tubuh dan kotorannya, seluruhnya najis.
  2. Najisnya adalah najis yang paling berat.
  3. Tidak cukup untuk menghilangkan najisnya dan bersuci darinya kecuali dengan tujuh kali cucian.
  4. Jika anjing menjilat ke dalam wadah, maka tidak cukup membersihkan jilatannya dengan dibersihkan saja, tetapi mesti dengan menumpahkan isi di dalamnya kemudian mencuci wadah tersebut sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan debu.
  5. Wajibnya menggunakan debu sekali dari tujuh kali cucian, dan yang lebih utama pada cucian pertama sehingga air digunakan untuk cucian selanjutnya.
  6. Penggunaan debu tidak boleh digantikan dengan pembersih lainnya karena:
  • Dengan debu dihasilkan kebersihan yang tidak diperoleh jika menggunakan bahan pembersih lain.
  • Tampak dari kajian ilmiah bahwa debu memiliki kekhususan dalam membersihkan najis ini, tidak seperti pada bahan pembersih lainnya. Ini merupakan salah satu mukjizat ilmiah pada syariat Muhammad ini yang beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.
  • Sesungguhnya debu adalah kata yang tercantum di dalam hadits, wajib kita mengikuti nash. Seandainya ada benda lain yang boleh menggantikannya maka tentu telah datang nash yang menjelaskannya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa” (al ayah). 
  1. Menggunakan debu boleh dengan mencampurkan air dengan debu atau mencampurkan debu dengan air atau dengan mengambil debu yang telah bercampur dengan air, lalu tempat yang terkena najis dicuci dengannya. Adapun dengan mengusap tempat najis dengan debu saja, maka tidak sah.
  2. Telah tetap secara medis dan terungkap melalu alat mikroskop dan alat modern lainnya bahwa di dalam air liur anjing terdapat mikroba dan penyakit yang mematikan dan air saja tak dapat menghilangkannya kecuali disertai dengan debu. Tidak ada cara lain. Maha suci Allah Yang Maha Mengetahui lagi Memberi tahu.
  3. Makna lahiriyah hadits ini adalah umum untuk seluruh jenis anjing, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Akan tetapi sebagian ulama mengatakan, “anjing untuk berburu, menjaga kebun, anjing peliharaan adalah anjing-anjing yang dikecualikan dari keumuman ini. Hal ini berdasarkan pada kaidah toleransinya syariat dan kemudahannya. “Kesulitan dapat menarik kemudahan”. 
Imam Syafi’i dan Ahmad serta pengikut-pengikut mereka dan kebanyakan madzhab azh zhohiriyah, Ishaq, Abu Ubaidah, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan yang lainnya mensyaratkan penggunaan debu. Jika najis anjing dicuci tanpa debu maka tidak suci. Hal ini berdasarkan nash yang shahih. Adapun celaan idhtirob pada periwayatannya ini tertolak. Dihukumi gugurnya suatu periwayatan karena idhtirob hanyalah jika idhtirobnya pada seluruh sisi, adapun jika sebagian sisi hadits unggul atas sebagian yang lain –sebagaimana dalam kasus ini- maka yang dijadikan hukum adalah riwayat yang rajih, sebagaimana yang ditetapkan di dalam ilmu ushul fiqh. Dan di sini, yang rajih adalah riwayat Muslim, yaitu penggunaan debu pada cucian yang pertama.

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa najisnya adalah umum untuk seluruh badannya, dan mencuci dengan cara seperti ini juga berlaku secara umum. Mereka menyamakan badan anjing dengan mulutnya. Imam Asy Syafi’i berkata, “seluruh anggota badan anjing berupa tangannya, telinganya, kakinya, atau anggota badan apapun jika masuk ke dalam wadah, maka wadah tersebut dicuci tujuh kali setelah menumpahkan isi (air) di dalam wadah.
 
Pendapat kedua

Sebagian ulama menganggap anjing tidaklah najis. Dalam Madzhab Maliki misalnya, anjing tidaklah najis. Karena menurut mereka, setiap makhluk hidup adalah suci, sekalipun anjing dan babi. Binatang dikatakan najis bila mati atau tidak disembelih dengan cara syar’i. Sebab itu, dalam pandangan madzhab ini, kalau tubuh atau ada benda yang dijilati anjing, maka membasuhnya hanyalah bagian dari kesunnahan. Meskipun sunnah tetap harus dibasuh karena bersifat ta’abbudi. 

Imam Malik dan Dawud berpendapat bahwa hukum tersebut hanya sebatas untuk lidah dan mulut anjing, mereka memandang bahwa perkara mencuci ini adalah dalam rangka ta’abbudi (ibadah) bukan semata-mata karena najis. Perkara ibadah hanya dibatasi pada nash dan tidak melebihinya karena tidak adanya illah (alasan hukum).

Sementara dalam pandangan Madzhab Hanafi, tidak seluruh bagian tubuh anjing najis, yang najis hanyalah keringat dan air liurnya. Karenanya, dalam madzhab ini, tetap wajib membasuh tubuh atau benda yang kena air liur anjing. Ulama yang ada dalam madzhab ini pun berbeda pendapat soal berapa banyak jumlah basuhannya, ada yang mengatakan tiga, lima, dan tujuh.

Terkait membasuh bekas jilatan air liur anjing, Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa yang wajib adalah mencuci tujuh kali, adapun penggunaan debu bersama tujuh kali cucian hukumnya tidak wajib. Hal ini karena kegoncangan (idhtirob)nya periwayatan hadits tentang pencuciannya yang disertai dengan debu, di dalam sebagian riwayat debu tersebut pada cucian pertama, di sebagian riwayat lain pada cucian terakhir, dan di riwayat lain tidak menentukan urutannya hanya menyebutkan “salah satunya dengan debu”.
Oleh karena idhtirob ini maka gugurlah hukum wajib penggunaan debu, karena “asal”nya adalah tidak adanya hukum wajib. 

Demikian hukum anjing, semoga bermanfaat.
 


No comments:

Post a Comment